Airi Hoshinoyuki On Selasa, 01 Maret 2011

Desember, Winter Fuyu
HINATA'S POV
"Selamat…"
"Wah… Kalian memang benar-benar serasi…"
"… Selamat ya…"
Entah berapa kali aku mendengar kata-kata itu hari ini, selamat atau kalian serasi. Oh! mungkin lebih tepat jika dikatakan aku bosan. Ya, aku bosan karena tak terhitung lagi tamu yang mengucapkannya setelah upacara pernikahanku tadi pagi. Yang benar upacara pernikahan kami —aku dan pria yang sekarang telah resmi menjadi suamiku— yang kutahu sejak beberapa jam yang lalu dia tidak lagi berdiri di sampingku. Sebenarnya kemana dia? Setahuku tidak ada lagi acara ganti kostum setelah beberapa saat yang lalu. Ah, kukira dia juga bosan dengan semua ini, sama sepertiku. Kenapa aku peduli? Seharusnya aku kesal karena dia sudah curang dengan meninggalkan aku sendiri di sini, dengan tamu yang seolah-olah pulang satu datang seribu.
Tidak heran kalau tamunya seolah-olah tak ada habisnya, karena hari ini, hari yang menjadi hari dimana aku dilahirkan ke dunia —27 Desember— telah merangkap menjadi hari pernikahanku, di musim dingin yang membekukanan jika di dalam ruangan tidak ada penghangat. Pesta pernikahan ini diadakan di hall yang terletak di pusat Mansion Uchiha, yang akan menjadi tempat tinggalku setelah acara ini selesai. Sebenarnya sudah menjadi tempat tinggalku sejak satu minggu yang lalu, sejak undangan disebarkan, tentu saja kamarku terpisah dengan suamiku, yang saat itu masih calon, tapi kalau nanti... Ah! Aku tidak tahu harus bagaimana...
Teman-temanku yang kukenal sepertinya sudah pulang semua, kebanyakan yang ada di sini adalah para anggota keluargaku dan suamiku, Hyuuga dan Uchiha. Selebihnya mungkin relasi-relasi bisnis mereka, karena aku tidak mengenalnya dan aku tidak terlalu tertarik dengan dunia bisnis, walaupun pada akhirnya aku yang diharuskan meneruskan bisnis keluarga Hyuuga. Mungkin salah jika aku mengira semua teman-temanku datang, ada seseorang yang tidak datang, seseorang yang tidak lagi kuketahui kabarnya dan tidak lagi menghubungiku setelah waktu itu...
Flashback
Hari ini seharusnya aku sudah ada di kediaman calon suamiku. Hari ini seminggu sebelum upacara pernikahan dilaksanakan dan semua undangan pernikahan telah disebarkan. Setelah aku memohon kepada Otou-san, aku diizinkan untuk keluar rumah dan menunda keluarga calon suamiku menjemputku. Aku berlari, dia sudah menungguku, menungguku di tempat aku menyatakan perasaanku, tempat dimana aku selalu menunggunya untuk bertemu, tapi sekarang dia yang menungguku. Tidak mudah untuk berlari dalam jalanan seperti ini, salju masih tebal meskipun tidak sedang hujan saat ini. Aku terus berlari, kesempatanku untuk bertemu dengannya tidak akan selalu ada. Sampai. Aku melihatnya. Dia tidak sendiri. Dia... Menggandeng erat jemari seseorang yang juga sangat kukenal. Inikah alasannya memanggilku kemari?
"Kita putus ya..." Kata-kata yang keluar dari mulutnya setelah melihatku datang.
"..." Tenggorokanku terasa tercekat. "Kita masih bisa berteman setelah ini?" Entah kenapa kata-kata itu yang terpikir dan akhirnya keluar dari mulutku.
"Tentu saja..." Dia memperlihatkan senyum yang selalu menghiburku, senyum yang dapat membangkitkan semangatku. Senyuman hangat yang serasa menyesakkan kali ini. "Kita juga bersahabat sebelumnya, kita tetap bersahabat ya..."
Aku hanya membalasnya dengan senyum, entah senyum seperti apa yang ditangkap matanya saat ini. Seseorang yang selalu digandengnya hanya menunduk, aku dapat melihat air matanya yang menetes di hamparan putihnya salju di depan kakinya berpijak.
"Iya, kita adalah sahabat sampai kapanpun..." Entah kenapa aku tidak dapat membendung air mataku lagi. Seseorang yang sejak tadi hanya menunduk, sekarang menubrukku, memelukku erat, menangis, dan berkali-kali mengucapkan kata maaf. "Aku sudah tahu, aku rela..." Aku mengatakan padanya dan kubalas pelukannya. "Kalian harus datang..." Sekarang aku melepas pelukannya dan mengedarkan pandangan mataku ke arah mereka. Kuhapus air mataku, memberikan senyumanku ke mereka, sungguh aku berusaha untuk tersenyum tulus kali ini.

kini hati telah tertutup
tak ingin kau hadir lagi
harapanku telah menghilang
dan tak mungkin ku mengulang untuk hatimu
hapus sudah air mata
tak mungkin aku bertahan
sejuta rasa kau beri
tak akan aku kembali pada dirimu
sadari hati
apa yang kau lakukan dan ku korbankan
telah kau hancurkan
hati yang selalu mengharapkanmu di sisiku
selamanya...
pupus sudah kisah ini
(keyla: sadari hati, new version)
Aku sudah mengira cepat atau lambat ini akan terjadi. Setelah mengucapkan salam perpisahan, aku berjalan kaki ke rumahku tanpa melihat ke belakang lagi. Seharusnya memang tidak pantas disebut sepasang kekasih jika kita hanya melakukan hal-hal selayaknya sahabat. Sikapnya tetap sama sejak kami bertemu kira-kira tujuh tahun yang lalu, eh atau mungkin delapan tahun yang lalu. Dia tetap mempertahankan status kami meskipun dia tahu aku sudah bertunangan dengan orang lain satu bulan yang lalu. Dia memutuskan aku di tempat status itu tercipta, setelah beberapa tahun aku di sampingnya sebagai sahabat yang memendam perasaan yang berbeda, aku memberanikan diriku satu tahun lalu untuk mengutarakannya dan dia tidak menolakku. Sekarang aku jadi berpikir kalau dia hanya tidak ingin menyakitiku. Setidaknya ada untungnya dia tidak mencintaiku, dia tidak akan sakit hati saat aku bersanding dengan orang lain, sebentar lagi.
Aku melihat pemandangan berbeda di depan rumahku, sepertinya mereka sudah datang. Mereka datang khusus untukku, menjemputku. Membawaku ke tempat dimana aku akan menghabiskan hari-hariku, ke tempat yang dapat mengganti marga keluargaku. Untuk pertama kalinya aku melihat Otou-san meneteskan air matanya di depanku, memelukku erat seolah tidak mau melepaskanku. Tapi aku mendengarnya mengatakan...
"Aku bahagia..." Otou-san membisikkannya di telingaku.
"Terima kasih... Terima kasih Otou-san... Untuk semuanya..." Aku menangis di pelukannya, aku tidak tahu kapan terakhir kalinya aku melakukan ini. Dan saat mendengar ini Otou-san hanya tersenyum kepadaku, senyum terbaik yang pernah kulihat.
Aku juga melihat adikku yang terlihat selalu tegar menangis sesenggukan dan terus-terusan memelukku. Kakak sepupuku datang dengan istrinya, mereka melakukan hal yang sama, memelukku erat. Sepertinya mereka akan tinggal bersama di sini sampai hari pernikahanku tiba, karena keluarga baru tersebut sudah memutuskan membentuk keluarga kecil.
Aku sangat menyayangi keluargaku, terlebih Otou-san. Karenanya aku tak pernah sanggup menolak atau membantah apa yang diinginkan dan diperintahkannya. Aku berusaha selalu menjadi anak penurut. Tidak membantah saat aku harus membuang mimpiku dan kuliah pada jurusan yang diinginkannya, tapi aku tidak menyesal karena ada seseorang yang sudah mewujudkan impianku. Juga sekarang, aku tidak menolak untuk menikah dengan seseorang yang sebelumnya tidak terlalu kukenal. Setidaknya dengan semua ini, aku merasa sedikit —amat sangat sedikit sekali— dapat membalas perjuangan Otou-san selama ini, membesarkan anak-anaknya dan keponakannya seorang diri. Meskipun aku tahu Otou-san memiliki banyak pesuruh atau pelayan, tapi selama ini Otou-san bekerja keras untuk kami, untuk kebaikan kami, agar dapat memberikan yang terbaik.
Akhirnya sampai juga setelah aku menikmati perjalananku hanya dengan menatap kosong keluar jendela mobil dan dengan perasaan yang bercampur aduk. Aku diantar masuk menemuinya, calon suamiku dan keluarganya, yang akan menjadi keluargaku. Terakhir bertemu dengannya saat pertunangan, seingatku dulu dia tidak sedingin ini... Dia berubah saat menjadi mahasiswa, kami bahkan tak pernah bertegur sapa. Saat aku melihatnya, selalu muncul pertanyaan yang sama... 'Apakah dia sudah lupa?'
End
"Onee-chan… Lho, kenapa melamun? Kemana perginya Sasuke-nii-san?" Hanabi-chan mengedarkan pandangannya kepada para tamu alias celingak-celinguk.
Aku menghela nafas panjang. "Entahlah… Eh, Hanabi-chan, ayo bawa aku pergi dari sini, aku lelah sekali…" Aku berusaha berbicara sepelan mungkin, sepertinya tidak sopan jika terdengar tamu. Setidaknya, sekarang ada yang dapat membantuku untuk meninggalkan tamu. Mungkin.
"Hinata-chan…" Kulihat pria yang sangat kukenal, dia kakak sepupuku yang sudah seperti kakak kandungku sendiri. Setelah kepergian ayahnya —Hizashi-ji-san yang merupakan saudara kembar dari Otou-san— Neji-nii-san yang waktu itu berumur enam tahun sudah tinggal satu atap denganku, Hanabi-chan, dan Otou-san —tanpa Okaa-san-ku karena lebih dulu pergi sebelum kepergian Oji-san— sampai dia memutuskan untuk menempati rumah barunya bersama istrinya. Aku menyunggingkan senyum padanya. Sekarang, dia sudah berdiri di sampingku bersama istrinya yang tersenyum lembut kepadaku.
Dia memakai setelan berwarna putih, lebih tepatnya tuxedo putih dengan dasi kupu-kupu dan rambutnya yang tergerai panjang seperti biasa, yang diserasikan dengan gaun istrinya yang juga berwarna putih berenda-renda, panjangnya kira-kira sepuluh senti di bawah lutut, panjang lengan sampai siku, tidak ada kerah karena hanya kerutan, ikat pinggang agak tinggi yaitu tepat di bawah dada dan dipitakan ke belakang, rambutnya yang sewarna dengan suaminya dibiarkan tergerai dan sedikit diikat ke belakang dengan hiasan bunga di pengikatnya. Tidak heran sih, sejauh mata memandang hanya warna putih yang akan terlihat selain warna rambut, memang itu yang dikehendaki, atau nama lainnya dress code dan tema pernikahan ini memang musim dingin yang tentunya banyak motif-motif salju di sini.
"Ya?"
"Aku ijin pulang dulu ya... Kata dokter, Onee-chan-mu ini harus banyak istirahat." Aku tahu di balik senyum itu ada nada kekhawatiran.
"Iya, maaf ya Hinata-chan… Kami tidak bisa menemanimu di sini lebih lama lagi."
"Tenten-nee-chan, kenapa harus minta maaf, tidak apa-apa aku juga mengerti, masih muda, kan? Jadi Onee-chan memang harus banyak istirahat." Neji-nii-san menikah enam bulan yang lalu, tepat saat ulang tahun Neji-nii-san —3 Juli— dan sekarang ada kehidupan di rahim istrinya, yang setahuku menginjak usia dua belas minggu.
"Kau kelihatan sudah lelah Hinata-chan, aku juga tidak lihat suamimu lagi di sini, apa dia kabur? Dasar suami tidak bertanggung jawab!"
"Neji-kun… Kau mulai lagi…" Istrinya selalu berhasil menenangkannya. Neji-nii-san itu, memang sering mengkhawatirkanku, lebih tepatnya selalu dan terlalu mengkhawatirkanku.
"Neji-nii-san betul tuh! Barusan Hinata-nee-chan mengeluh. Mungkin sebaiknya aku bicarakan ke Otou-san agar mempersilahkan pengantin baru untuk meninggalkan pesta terlebih dulu." Aku melihat senyum mesum di wajah manis Hanabi-chan.
"Dasar mesum kau Hanabi-chan…" Tidak lama kemudian dengan seenaknya anak nakal itu menuju ke tempat Otou-san berdiri. Kulihat Hanabi-chan sudah mulai bicara sesuatu, terlihat dari gerak bibirnya dan sekilas Otou-san melihat kearahku.
"Istirahatlah secepatnya…" Kata Neji-nii-san seraya menepuk pelan pundakku. "Aku pulang... Jaa…"
"Jaa Neji-nii-san. Jaa Tenten-nee-chan…"
Tidak lama setelah kupandang pundak mereka yang semakin menjauh, terdengar suara Fugaku-tou-san —ayah mertuaku— yang meminta ijin kepada para tamu agar mempersilahkanku untuk meninggalkan pesta terlebih dahulu. Kurasa para tamu tidak keberatan, terlihat dari senyum mereka yang ditujukan kepadaku. Setelah itu, pelayan pribadiku —mereka menyebutnya begitu selama aku di Mansion Uchiha— mengantarkanku ke ruang ganti dan membantuku mengganti gaun pestaku.
Sekarang aku memakai pakaian tidur berwarna lavender yang panjangnya kira-kira sepuluh senti di bawah lutut, dengan renda-renda di ujung gaun dan lengan pendek yang agak menggembung, tidak ada kancing atau resleting karena elastis pada bagian kerah, eh, tidak ada kerah sih, hanya kerutan-kerutan, ah, benar-benar nyaman. Katanya ini diberikan oleh Mikoto-kaa-san —ibu mertuaku— sebagai salah satu hadiah pernikahan. Sekarang aku membiarkan rambutku tergerai hingga menyentuh pinggangku.
-oOo-
NORMAL'S POV
"Terima kasih Shion-chan, sekarang istirahatlah…"
"Tapi, saya harus mengantarkan Hinata-sama—"
"Sepertinya -chan lebih enak didengar atau panggil Hinata saja, bukankah kita seumuran? Dan aku tidak perlu diantar…" Potong Hinata lembut.
"B-baiklah, Hi-nata."
"Itu lebih baik, selamat tidur…" Hinata tersenyum, meninggalkan Shion untuk segera mengistirahatkan tubuhnya di kamar pengantinnya, dan dibalas Shion dengan membungkukkan badannya. Tapi baru beberapa langkah, Hinata berbalik. "Aku sebenarnya ingin menanyakan sesuatu padamu..."
"Apa?" Shion masih di tempatnya semula.
"Mungkin lain kali."
"Baiklah..."
Sekarang Hinata benar-benar meninggalkan Shion, dan Shion juga berpikir untuk kembali ke kamarnya.
-oOo-
Hinata membuka pintu kamarnya dengan sangat pelan agar tidak mengganggu penghuni lainnya, yang menurutnya mungkin sudah tidur setelah meninggalkannya di pesta sendirian.
"Ah! Ma-maaf." Kata Hinata seraya cepat membalikkan tubuhnya membelakangi suaminya, muncul semburat merah di pipinya setelah melihat pemandangan indah di depan matanya, yaitu tubuh suaminya yang keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada dan hanya dibalut handuk dari pinggang sampai atas lututnya dengan rambut yang masih basah dan tangannya yang bergerak mengeringkan rambut. Tidak lama terdengar suara lemari dibuka dan ditutup kembali. Hinata masih tetap dalam posisinya, menghadap pintu, membelakangi suaminya.
"Kau kenapa, berbaliklah, aku sudah berpakaian." Suara suaminya terdengar dingin, sangat dingin di telinga Hinata.
Hinata berbalik dengan tetap menundukkan kepalanya, dari mata yang terhalangi poninya dia dapat melihat suaminya sudah berbaring dengan mata tertutup di ranjang, kedua tangan dilipat di belakang kepala sebagai alas tambahan di atas bantalnya, dengan baju tidur biru tuanya yang masih dapat memperlihatkan dada bidangnya.
"Tch! Kau masih mau berdiri di sana sampai kapan?" Masih dengan suara dinginnya, sekarang Hinata dapat melihat bola mata onyx suaminya sedang melihat dirinya yang masih terdiam di samping tempat tidur. Tetap dengan diam, Hinata memberanikan diri duduk di tepi tempat tidur, menyibakkan sedikit selimut dan meluruskan kakinya di tempat tidur, dan perlahan-lahan membaringkan tubuhnya. Matanya memandang ke langit-langit kamarnya, sesekali melirik suaminya yang ternyata telah memejamkan matanya.
"U-uchi… Ehm, m-maksudku, S-sasuke-k-kun, apa kau sudah tidur?" Hinata memberanikan diri membuka percakapan.
"Hn."
"K-kurasa belum, kau tadi kenapa tiba-tiba menghilang?"
"Bukan urusanmu." Tetap dengan mata terpejam dan nada suaranya yang dingin dan bisa bikin merinding.
"Ya sudah, selamat tidur." Hinata memalingkan tubuhnya membelakangi suaminya dan mulai memejamkan matanya. Tanpa disadarinya, ada sepasang mata onyx yang menatap punggungnya.
"Kau ingin melewatkan malam pertamamu begitu saja?" Spontan mata Hinata membulat.
"A-a-apa m-maksudmu?"
"Lupakan."
Suasana hening. Tentu saja Hinata mengerti apa yang dimaksud Sasuke, tapi dia terlalu canggung untuk memulainya atau bahkan memikirkannya, takut terlalu berharap kepada seorang pria yang dinikahkan dengannya hanya atas dasar penyatuan dua keluarga atau mungkin hanya karena bisnis, setidaknya itu yang dipikirkan Hinata. Hinata segera memejamkan matanya. Dirasakannya tempat tidurnya bergoyang karena pergerakan seseorang di belakangnya, sepertinya Sasuke mengubah posisinya membelakangi Hinata, tapi Hinata terlalu takut hanya untuk sekedar menoleh ke belakang, hanya untuk melihat apa yang dilakukan suaminya. Entah sejak kapan keduanya menjelajahi dunia mimpi masing-masing.
-oOo-
~TO BE CONTINUE~
GOMEN & ARIGATOU

Terima kasih atas kunjungan anda, semoga postingan saya bermanfaat. Tolong berikan pendapat anda tentang postingan saya.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments